Khilafah Fighters  

Laa 'Izzata illa bil Islam  
Walaa Islama illa bisy Syariah  
Walaa Syariata illa bid Daulah   Daulah Khilafah Rasyidah  





Locations of visitors to this page

Ada user online
Friday, 12 January 2007

Indahnya ‘Syariat’ Islam

Dalam Naungan Indahnya 'Syariat' Islam
oleh :
Apu' El Indragiry

Tulisan ini adalah untuk menanggapi opini yang dikemukakan saudara Khamami Zada (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) di harian Seputar Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2006, "menyoal proyek syariatisasi di beberapa daerah di Indonesia."

      Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan sesamanya. Suspens dari "yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya" adalah deskripsi yang sangat jami' (komprehensif). Area ini meliputi seluruh aspek mulai dari urusan dunia sampai akhirat baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka, maupun ibadah, ekonomi, sosial politik, budaya dan pendidikan (Abdurrahman, 2002).

      Islam tidak bisa digunakan secara parsial (setengah-setengah), antara ibadah  mahdah (wajib) seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan dengan  kehidupan keseharian (muamalah) seperti bagaimana berekonomi secara Islam, berpolitik secara Islam. Kita tidak bisa hanya menggunakan syariat dalam tataran ibadah kepada Allah semata, lalu ketika berinteraksi dengan manusia lain seperti dalam masalah muamalah menggunakan sistem selain Islam. Pendek kata penerapan hukum-hukum Islam tidak bisa dilepaskan dari sendi-sendi kehidupan muslim dalam kesehariannya.

      Adalah sangat naif sekali apabila saudara Khamami Zada menggugat banyaknya perda-perda syariat di beberapa daerah di Indonesia. Bukankah dalam iklim demokrasi itu sah-sah saja? Banyaknya perda yang bernuansakan syariat, karena mayoritas masyarakat disana telah sadar akan pentingnya sebuah perda yang bisa merangkum aspirasi mereka selama ini. Dan tentu saja sebagai wakil dari masyarakat yang baik, beberapa pemimpin daerah menyerap dan menyaring serta memformulasikan aspirasi itu dalam bukti otentik yaitu perda syariat. Kesadaran masyarakat dibeberapa daerah seperti di Aceh, Makassar dan di Jambi adalah buah dari implementasi dari sistem terbaik yang diyakininya (QS.3 :19).

      Lalu bagaimana menanggapi diskursus pengejawantahan penerapan syariat melalui perda-perda dibeberapa daerah di Indonesia? Apakah ada dampaknya? lalu bagaimana dengan masyarakat yang bukan dari muslim. Tulisan saudara Khamai Zada hanya condong kepada sisi negatif syariat semata (syariatphobia) seharusnya beliau dengan ilmiah memaparkan apa kelebihan penerapan syariat dan sesudah diterapkan, apakah ada dampak negatifnya bagi non muslim? Tulisan beliau seolah-olah menyiratkan bahwa penerapan syariat Islam itu intoleran. Padahal secara empirik, penerapan syariat Islam dalam perda yang termaktub itu adalah solusi dari beberapa masalah masyarakat yang tidak bisa terpecahkan selama ini. Dan tidak ada pihak yang secara eksplisit menyatakan keberatan dengan diterapkannya perda syariat tersebut. 

Ada beberapa hal yang harus dikritisi dari tulisan saudara Khamami Zada :

1. Bahwa menjauhi Molimo; madon, mabuk, madat, main dan maling adalah tradisi Jawa kuno.

Adalah sangat naif sekali ketika menyatakan bahwa kewajiban menjauhi molimo adalah tradisi Jawa. seolah-olah kalimat ini menjustifikasi bahwa dalam Al-Qur'an tidak mengharamkannya, padahal secara tersurat molimo itu telah terhukumi oleh al-Qur'an.

2. Syariat Islam 'hanya'diperjuangkan oleh beberapa kelompok dakwah Islam. Pendapat ini juga sangat bertentangan dengan kewajiban menerapkan syariat Islam yang ditimpakan kepada setiap kaum muslimin atau mukallaf (orang yang dikenai hukum) (QS.3: 85).

3. Syariat Islam tidak bisa dipakai sebagai pijakan hukum formal (Al-ahkam al-qanuniyah/taqnin).

Sungguh diskursus yang sangat menggelikan, tanpa data dan referensi sama sekali. Apakah saudara Khamami Zada tidak menelisik Shirah Nabawiyah? yang di dalamnya nampak nyata bukti empirik yang tidak bisa di ganggu gugat keabsahannya, bagaimana`penerapan syariat Islam sebagai hukum formal (dalam pemerintahan). Yang dipelopori oleh Rasulullah Saw di Madinah sebagai tonggak awal peradaban Islam yang memancarkan kilauannya dari Bumi Arab sampai Cordoba (Spanyol). Pendapat Khamami Zada, bahwa syariat Islam tidak bisa di formalkan juga sangat bertentangan dengan al-Qur'an (QS.5 :50).

4. Syariat hanya 'sekedar' menjadi bagian dari hukum Nasional.

Tentu Islam tidak bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat secara parsial. Tapi penerapan syariat harus dilakukan secara jami' (komprehensif) menyangkut seluruh aspek dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Islam tidak bisa dipisahkan antara kehidupan pribadi (privat/individual),

dengan masyarakat dan dengan Sang Pencipta. Dalam kesehariannya masyarakat harus bersandar pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. melalui Al-Qur'an dan As-Sunnah.

5. Hukum Islam harus disesuaikan dengan perubahan jaman, sehingga wajah Syariat Islam menjadi modern inklusif dan toleran.

Tentu ini pandangan 'Teologi Pluralis' yang sangat berbahaya. Menyelisik ayat yang selalu jadi acuan kaum pluralis adalah QS. 2:62 dan QS. 5:69. apakah kewajiban puasa (QS.2:183) dan kaum muslimin dikenakan kewajiban untuk menghukumi qishash (hukum bunuh bagi pembunuh) yang termaktub dalam Alqur'an QS. 2:178) ini di nafikan oleh saudara Khamami Zada dan orang-orang yang sefikrah (sepemahaman) dengan beliau? Wallahu a'lam. Sedang Frans Magnis Suseno saja secara tegas menolak 'Teolog Pluralis'. F. Magnis Suseno menegaskan "Menurut saya ini sangat lucu dan tidak serius. Ini sikap sangat menghina kalaupun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain,kelompok lain, keberadaan agama lain dengan baik mengakui dan menghormati keberadaan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat menghormati identitas masing-masing yang tidak sama"(Husaini, opini Republika,2005). Jelas wacana yang selalu di lontarkan oleh kaum pluralis adalah untuk merusak aqidah (keimanan) umat Islam itu sendiri.

Perlunya Formulasi Syariat dengan Daulah Khilafah

Sangat aneh untuk saudara Khamami Zada ketika beliau menolak  Perda Syariat Islam, lalu bagaimana ketika beliau menikah? Apakah tidak menggunakan syariat (sistem Islam). Hukum syariat (ayat-ayat kawliyahNya) adalah sebagai sumber hukum utama bagi umat Islam, tidak bisa diambil secara sepotong-potong sesuai hawa nafsu belaka. Dibutuhkan keikhlasan (kerelaan) dan keimanan untuk berhukum kepada syariat, sebagai konsekuensi logis atas kemuslimannya. Dari pengejawantahan penerapan syariat Islam, cita-cita untuk menciptakan baldatun thayibatun wa rabbun ghafur (negari yang adil makmur dan sentosa) bisa tercapai.

Sebuah hukum tanpa pelindung ad-Dawlah (negara) yang melindungi juga akan sangat sia-sia. Karena aturan (hukum) itu perlu aparat yang menjadi penegak dan pengatur seluruh hukum yang di berlakukan. Sungguh akan hancur sebuah negeri apabila hukumnya tidak bisa menjadi solusi dan melindungi. Hanya  syariat Islam (QS. ...) yang bisa mengatur seluruh sendi kehidupan, karena telah terpapar dan termaktub dengan jelas dalam al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber utamanya. Dan hanya Daulah Khilafah seperti yang dituntunkan sang Uswah (Muhammad Saw.) yang bisa menjadi penegak syariat dan melindungi Islam.

Wallahu a'lam bi as-showab 

Aktifis 'Rumpun Melayu Pecinta Syariat' Riau tinggal di Jogja
Pegiat "Dunia Puisi Islami"

Labels:

posted by Arief @ 10:12  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Arief Rachmansyah
Kota Malang


cmplt prfl