Dalam Naungan  Indahnya 'Syariat' Islam
oleh : Apu'  El Indragiry
  Tulisan ini adalah  untuk menanggapi opini yang dikemukakan saudara Khamami Zada (Dosen  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) di harian Seputar Indonesia pada tanggal  20 Oktober 2006, "menyoal proyek syariatisasi di beberapa daerah  di Indonesia."
       Islam  adalah agama yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad saw.  untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan sesamanya.  Suspens dari "yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan  dirinya dan dengan sesamanya" adalah deskripsi yang sangat jami'  (komprehensif). Area ini meliputi seluruh aspek mulai dari urusan dunia  sampai akhirat baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka, maupun  ibadah, ekonomi, sosial politik, budaya dan pendidikan (Abdurrahman,  2002).
       Islam  tidak bisa digunakan secara parsial (setengah-setengah), antara ibadah   mahdah (wajib) seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan dengan   kehidupan keseharian (muamalah) seperti bagaimana berekonomi secara  Islam, berpolitik secara Islam. Kita tidak bisa hanya menggunakan syariat  dalam tataran ibadah kepada Allah semata, lalu ketika berinteraksi dengan  manusia lain seperti dalam masalah muamalah menggunakan sistem  selain Islam. Pendek kata penerapan hukum-hukum Islam tidak bisa dilepaskan  dari sendi-sendi kehidupan muslim dalam kesehariannya.
       Adalah  sangat naif sekali apabila saudara Khamami Zada menggugat banyaknya  perda-perda syariat di beberapa daerah di Indonesia. Bukankah dalam  iklim demokrasi itu sah-sah saja? Banyaknya perda yang bernuansakan  syariat, karena mayoritas masyarakat disana telah sadar akan pentingnya  sebuah perda yang bisa merangkum aspirasi mereka selama ini. Dan tentu  saja sebagai wakil dari masyarakat yang baik, beberapa pemimpin daerah  menyerap dan menyaring serta memformulasikan aspirasi itu dalam bukti  otentik yaitu perda syariat. Kesadaran masyarakat dibeberapa daerah  seperti di Aceh, Makassar dan di Jambi adalah buah dari implementasi  dari sistem terbaik yang diyakininya (QS.3 :19).
       Lalu  bagaimana menanggapi diskursus pengejawantahan penerapan syariat melalui  perda-perda dibeberapa daerah di Indonesia? Apakah ada dampaknya? lalu  bagaimana dengan masyarakat yang bukan dari muslim. Tulisan saudara  Khamai Zada hanya condong kepada sisi negatif syariat semata (syariatphobia)  seharusnya beliau dengan ilmiah memaparkan apa kelebihan penerapan syariat  dan sesudah diterapkan, apakah ada dampak negatifnya bagi non muslim?  Tulisan beliau seolah-olah menyiratkan bahwa penerapan syariat Islam  itu intoleran. Padahal secara empirik, penerapan syariat Islam  dalam perda yang termaktub itu adalah solusi dari beberapa masalah masyarakat  yang tidak bisa terpecahkan selama ini. Dan tidak ada pihak yang secara  eksplisit menyatakan keberatan dengan diterapkannya perda syariat tersebut. 
 
 Ada beberapa  hal yang harus dikritisi dari tulisan saudara Khamami Zada :
 1. Bahwa menjauhi  Molimo; madon, mabuk, madat, main dan maling adalah  tradisi Jawa kuno. 
 Adalah sangat  naif sekali ketika menyatakan bahwa kewajiban menjauhi molimo  adalah tradisi Jawa. seolah-olah kalimat ini menjustifikasi bahwa dalam  Al-Qur'an tidak mengharamkannya, padahal secara tersurat molimo  itu telah terhukumi oleh al-Qur'an.
 2. Syariat Islam  'hanya'diperjuangkan oleh beberapa kelompok dakwah Islam. Pendapat  ini juga sangat bertentangan dengan kewajiban menerapkan syariat Islam  yang ditimpakan kepada setiap kaum muslimin atau mukallaf (orang  yang dikenai hukum) (QS.3: 85).
 3. Syariat Islam  tidak bisa dipakai sebagai pijakan hukum formal (Al-ahkam al-qanuniyah/taqnin). 
 Sungguh diskursus  yang sangat menggelikan, tanpa data dan referensi sama sekali. Apakah  saudara Khamami Zada tidak menelisik Shirah Nabawiyah? yang di dalamnya  nampak nyata bukti empirik yang tidak bisa di ganggu gugat keabsahannya,  bagaimana`penerapan syariat Islam sebagai hukum formal (dalam pemerintahan).  Yang dipelopori oleh Rasulullah Saw di Madinah sebagai tonggak awal  peradaban Islam yang memancarkan kilauannya dari Bumi Arab sampai Cordoba  (Spanyol). Pendapat Khamami Zada, bahwa syariat Islam tidak bisa di  formalkan juga sangat bertentangan dengan al-Qur'an (QS.5 :50). 
 4. Syariat hanya  'sekedar' menjadi bagian dari hukum Nasional. 
 Tentu Islam tidak  bisa diterapkan ditengah-tengah masyarakat secara parsial. Tapi penerapan  syariat harus dilakukan secara jami' (komprehensif) menyangkut  seluruh aspek dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Islam tidak bisa  dipisahkan antara kehidupan pribadi (privat/individual), 
 dengan masyarakat  dan dengan Sang Pencipta. Dalam kesehariannya masyarakat harus bersandar  pada hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. melalui Al-Qur'an  dan As-Sunnah.
 5. Hukum Islam  harus disesuaikan dengan perubahan jaman, sehingga wajah Syariat Islam  menjadi modern inklusif dan toleran. 
 Tentu ini pandangan  'Teologi Pluralis' yang sangat berbahaya. Menyelisik ayat yang selalu  jadi acuan kaum pluralis adalah QS. 2:62 dan QS. 5:69. apakah kewajiban  puasa (QS.2:183) dan kaum muslimin dikenakan kewajiban untuk menghukumi  qishash (hukum bunuh bagi pembunuh) yang termaktub dalam Alqur'an  QS. 2:178) ini di nafikan oleh saudara Khamami Zada dan orang-orang  yang sefikrah (sepemahaman) dengan beliau? Wallahu a'lam. Sedang  Frans Magnis Suseno saja secara tegas menolak 'Teolog Pluralis'.  F. Magnis Suseno menegaskan "Menurut saya ini sangat lucu dan tidak  serius. Ini sikap sangat menghina kalaupun bermaksud baik. Toleransi  tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling  menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain,kelompok  lain, keberadaan agama lain dengan baik mengakui dan menghormati keberadaan  mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat menghormati  identitas masing-masing yang tidak sama"(Husaini, opini Republika,2005).  Jelas wacana yang selalu di lontarkan oleh kaum pluralis adalah untuk  merusak aqidah (keimanan) umat Islam itu sendiri.
 Perlunya Formulasi  Syariat dengan Daulah Khilafah
 Sangat aneh untuk  saudara Khamami Zada ketika beliau menolak  Perda Syariat Islam,  lalu bagaimana ketika beliau menikah? Apakah tidak menggunakan syariat  (sistem Islam). Hukum syariat (ayat-ayat kawliyahNya) adalah sebagai  sumber hukum utama bagi umat Islam, tidak bisa diambil secara sepotong-potong  sesuai hawa nafsu belaka. Dibutuhkan keikhlasan (kerelaan) dan  keimanan untuk berhukum kepada syariat, sebagai konsekuensi logis atas  kemuslimannya. Dari pengejawantahan penerapan syariat Islam, cita-cita  untuk menciptakan baldatun thayibatun wa rabbun ghafur (negari  yang adil makmur dan sentosa) bisa tercapai. 
 Sebuah hukum tanpa  pelindung ad-Dawlah (negara) yang melindungi juga akan sangat  sia-sia. Karena aturan (hukum) itu perlu aparat yang menjadi penegak  dan pengatur seluruh hukum yang di berlakukan. Sungguh akan hancur sebuah  negeri apabila hukumnya tidak bisa menjadi solusi dan melindungi. Hanya   syariat Islam (QS. ...) yang bisa mengatur seluruh sendi kehidupan,  karena telah terpapar dan termaktub dengan jelas dalam al-Qur'an  dan as-Sunnah sebagai sumber utamanya. Dan hanya Daulah Khilafah  seperti yang dituntunkan sang Uswah (Muhammad Saw.) yang bisa menjadi  penegak syariat dan melindungi Islam.
  Wallahu a'lam  bi as-showab 
Aktifis  'Rumpun Melayu Pecinta Syariat' Riau tinggal di Jogja
Pegiat  "Dunia Puisi Islami"