Khilafah Fighters  

Laa 'Izzata illa bil Islam  
Walaa Islama illa bisy Syariah  
Walaa Syariata illa bid Daulah   Daulah Khilafah Rasyidah  





Locations of visitors to this page

Ada user online
Tuesday 2 January 2007

vonis mati

MENANTI VONIS MATI
UNTUK BUSH DAN BLAIR

Andaikata Hukum Nurenberg diperlakukan sekarang, setiap presiden AS pasca perang harus digantung. [Noam Chomsky]

Akhirnya, Pengadilan Tinggi Irak—di bawah pendudukan AS—menjatuhkan vonis hukuman mati untuk Saddam Hussain. Mantan diktator Irak ini dianggap bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan 148 warga Syiah di Dujail. Saddam juga akan segera memasuki proses pengadilan kedua dengan dakwaan pembunuhan ribuan warga Kurdi.

Vonis hukuman mati ini segera disambut pro dan kontra. Bush menganggapnya sebagai jasa tentara AS di Irak. Hal ini tampak dalam pernyataannya, "Hal ini tidak akan terjadi kalau tidak berkat tentara AS ." Kembali Bush mengaitkan peristiwa ini sebagai momen penting demokrasi di Irak. Hal yang senada diungkapkan oleh John Howard, koalisi AS di Irak. Adapun Inggris dan negara Eropa lainnya, meskipun setuju dengan pengadilan ini, tidak mendukung hukuman mati. Sebab, Eropa memang memiliki kebijakan menentang hukuman mati.

Semua ini menunjukkan adanya pesan yang jelas, yang ingin disampaikan oleh Barat, bahwa pelaku pembunuhan massal harus bertanggung jawab, diseret ke pengadilan, dan dijatuhi hukuman mati. Tentu, kita setuju dengan pesan ini. Namun, pesan ini seharusnya berlaku sama bagi siapapun dan negara manapun, yang telah melakukan pembunuhan masal terhadap rakyat sipil. Karena itulah, kita pantas mempertanyakan: bagaimana dengan Bush dan Blair?

Bush dan Blair harus bertanggung jawab atas pembunuhan massal terhadap rakyat Afganistan dan Irak. Di Afganistan, ribuan rakyat sipil terbunuh oleh tentara AS. Di Irak, menurut laporan Universitas John Hopkins, perang telah membunuh lebih kurang 650 ribu rakyat sipil. Pembunuhan ini pun terus berlangsung, baik akibat serangan pasukan AS dan sekutunya, tentara pemerintah boneka Irak, atau konflik horisontal. Yang jelas, siapapun pelakunya, AS tetap harus bertanggung jawab, karena secara defacto AS-lah yang berkuasa di Irak.

Bush dan Blair juga bertanggung jawab dalam berbagai bentuk pelanggaran kemanusiaan di Irak, Afganistan, dan seluruh penjuru dunia. Penjara Guantanamo, penjara rahasia, penyiksaan para tawanan, penahanan tanpa batas waktu dan tanpa pendampingan pengacara merupakan bentuk pelanggaran yang jelas. Ditambah lagi dengan pelecehan terhadap agama Islam, seperti penistaan al-Quran.

Apalagi Bush dan Blair serta para pejabat politik AS dan Inggris telah berulang-ulang mengakui kesalahan mereka di Irak. Politisi, ilmuwan dan pejabat militer juga menyatakan hal yang sama. Penilaian ini dipertegas oleh kekalahan partai Republik dalam Pemilu sela pemilihan anggota Kongres dan Senat; disusul oleh pengunduran diri Menhan AS Donal Rumsfeld yang dianggap paling bertanggung jawab dalam Perang Irak. Semuanya mengisyarakatkan hal yang tegas: perang Irak telah keliru. Karena itu, selayaknya Bush dan Blair juga dituntut hukuman yang sama: hukuman mati!

Setelah Saddam divonis hukuman mati, semua pihak yang pernah mendukung rezim Saddam ketika berkuasa juga harus diminta pertanggungjawabannya. AS, Prancis, Inggris, dan Jerman adalah negara yang mendukung Saddam  ketika berkuasa dan melakukan pembantaian terhadap rakyatnya. Tidak hanya Blair dan Bush, penguasa sebelumnya dari rezim Barat lainnya juga harus bertanggung jawab.

Banyak negara dan perusahaan di Barat turut membantu dan mengembangkan persenjataan rezim Saddam Husain. Perusahaan Amerika, Pfaulder Corporation of Rochester, New York,  telah membantu blue print (cetak biru)  pengembangan industri kimia Irak di era Saddam  pada tahun 1975 yang berlokasi di daerah Akhashat (barat laut Irak). Pemerintah AS juga menyetujui pembelian teknologi telephone mobile syistem pada 1975—teknologi yang cukup  canggih pada masa itu—yang secara tidak langsung telah memperkuat rezim Saddam Husain.

Saat Saddam berkunjung ke Prancis pada 1976, PM Prancis saat itu—Jacques Chirac—setuju untuk membantu pembangunan teknologi nuklir Irak. Sementara itu, Departemen  Perdagangan AS memberikan izin ekspor bahan biologis, termasuk bahan kimia, ke Irak hingga tahun 1989. Padahal 20 bulan sebelumnya, tepatnya tanggal 17 Maret 1988, Saddam Husain telah menggunakan senjata kimia dalam pembantain komunitas  di Halabja.

Dukungan AS terhadap rezim Saddam,  meskipun dikenal diktator, semakin menguat saat Perang Irak-Iran. Saat konflik Iran-Irak memanas pada tahun 1983, Presiden Ronald Reagen mengirim utusan khusus AS untuk bertemu dengan Saddam Husain untuk menjalin hubungan baik dengan Irak. Yang menarik, utusan itu adalah Donald Rumsfeld, Menhan AS pada masa Bush, yang baru saja mengundurkan diri pasca kekalahan Republik.

Ketika PBB pada Maret 1984 mengecam Saddam karena penggunaan senjata kimia dalam Perang Iran-Irak, Rumsfeld   saat itu sedang berkunjung ke Baghdad untuk mengokohkan hubungan Irak-AS. Dia sama sekali tidak menyinggung penggunaan senjata kimia. Sebuah artikel yang dimuat di Los Angeles Times 13 Februari 1991 mengabarkan  Saddam Husain telah melakukan pembelian 60 buah helikopter Hughes dan helikopter bermesin ganda Bel 'Huey' yang digunakan oleh AS dalam Perang Vietnam. Semua transaksi ini diketahui oleh pejabat AS.

Semua ini menunjukkan kembali sikap hipokrit negara-negara Barat. Di satu sisi mereka mengecam Saddam sebagai rezim diktator. Di sisi lain, mereka pula yang telah memperkuat rezim Saddam saat berkuasa. Dukungan terhadap rezim diktator ini masih terus dilakukan oleh negara-negara Barat sejalan dengan kepentingan politik mereka.

Jadi, pada dasarnya, AS dan sekutu Baratnya, tidak pantas menganggap diri mereka berjasa menghukum mati Saddam. Sebab, mereka pulalah yang dulunya memperkuat rezim Saddam Husain.

Tentu, kita tidak bisa berharap bahwa pengadilan yang ada sekarang akan berani mengadili Bush dan Blair. Mahkamah Internasional tidak akan menyeret Bush dan Blair untuk dituntut. Sebab, semua itu merupakan perangkat PBB, yang akan selalu berpihak kepada negara adidaya. Yang paling mungkin akan menyeret mereka ke pengadilan adalah Negara Khilafah Islam yang insya Allah akan segera tegak dalam waktu dekat. Negara Khilafah juga akan mengakhiri penjajahan Negara-negara kapitalis di Dunia Islam dan menghentikan dukungan mereka terhadap penguasa-penguasa diktator di dunia Islam. [Farid Wadjdi]

Labels:

posted by Arief @ 06:24  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Arief Rachmansyah
Kota Malang


cmplt prfl