HENTIKAN UTANG LUAR NEGERI! Kinerja ekonomi pemerintahan SBY-JK pada tahun 2006 secara umum masih mengalami kemerosotan. Menurut Ketua Komisi VI DPR, kondisi ini tergambar dari mandegnya pertumbuhan ekonomi, turunnya dayabeli masyarakat serta meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. (Republika, 15/12). Namun, kondisi yang buruk ini ternyata tidak begitu saja disadari oleh Pemerintah sehingga Pemerintah segera mengambil langkah-langkah tepat dan cepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ironisnya, langkah yang diambil oleh Pemerintah justru sebaliknya: semakin memperparah kondisi Indonesia, baik dari sisi ekonomi maupun yang lainnya. Hal ini tampak jelas dengan adanya usulan penambahan utang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, Pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 30-35 miliar dolar AS. Sejumlah kreditor asing, ungkap Deputi Menneg PPN/Kepala Bapenas, Lukito, sudah menyatakan berminat untuk mengucurkan utang mereka. Malapetaka Terus Berlanjut Jika rencana utang dalam jumlah besar tersebut terjadi, maka jumlah hutang Indonesia akan semakin membengkak. Saat ini saja, menurut data terakhir Bappenas 2006, utang negara sudah mencapai US$130 miliar, terdiri dari utang luar negeri US$67,9 miliar dan utang domestik Rp658 triliun. Setiap tahunnya pemerintah harus membayar cicilan utang luar negeri yang jatuh tempo Rp96 triliun, ditambah beban utang dalam negeri Rp60 triliun, sehingga setiap tahun Indonesia harus membayar utang Rp150-170 triliun. Jadi, keuangan negara Indonesia ini sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara pemberi utang dan lembaga keuangan internasional bagaikan satu kartel. Ini tentu sangat beralasan, mengingat kondisi Indonesia saat ini memasuki krisis pembayaran utang yang sangat luar biasa dan sudah tidak rasional lagi, karena jauh melampaui kemampuan untuk membayarnya. Ini semakin mempertegas fakta, bahwa negeri ini memang terjajah. Betapa tidak, kita sudah jamak mengetahui, bahwa setiap utang pasti disertai dengan sejumlah persyaratan. Sejumlah agenda (intervensi) dari negara-negara kapitalis (kreditor) kemudian dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia. Terbitnya Undang-Undang Sumber Daya Air (SDA) yang sangat liberal adalah salah satu contoh UU yang secara tegas dimasukkan dalam persyaratan yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam Letter of Intens (LoI) antara Indonesia dan IMF. Ini adalah sebuah intervensi. Belum lagi UU Migas, UU Kelistrikan, dll. Dengan kata lain, kita semakin terperangkap dalam belitan intervensi (campur-tangan) asing. Jika sudah demikian maka kita sudah terjajah secara total. Jadi, malapetaka yang saat ini sudah merundung dan membelit Indonesia akan terus berlanjut bahkan semakin mengakar. Kita pun tahu, bahwa krisis Indonesia yang parah ini pada awalnya akibat kebijakan keliru memanggil dan meminta bantuan (utang) kepada IMF. Dengan 'resep maut'-nya, IMF bukannya menjadikan Indonesia segera keluar dari kubangan krisis, namun justru lebih masuk terjerembab. Dalam LoI yang disepakati Pemerintah RI-IMF terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN, dan jaring pengaman sosial. Utang Luar Negeri dan Kemiskinan Laporan Bank Dunia terbaru ( Media Indonesia, 11/12/2006) tentang 100 juta penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat menyedihkan. Ukurannya berpenghasilan di bawah US$2 atau kurang dari Rp18 ribu perhari. Jumlah 100 juta tentu bukan angka yang kecil, sangat besar, karena hampir mendekati setengah dari 220 juta penduduk Indonesia. Jumlah ini dua kali lipat dari versi Biro Pusat Statistik yang mengklaim penduduk miskin Indonesia 'hanya' sekitar 49 juta. Kalau kemiskinan seperti itu terjadi di negeri yang tandus, gersang, dan tanpa kekayaan alam yang berarti, tentu bisa dimengerti. Namun itu terjadi di Indonesia; negeri yang kaya dan subur. Ini tentu sangat ironis. Hidup miskin di negeri yang kaya bukan saja terjadi secara nasional. Kerap kemiskinan justru terjadi di daerah yang kekayaan alamya sangat kaya. Bagaimana mungkin penduduk Papua, misalnya, banyak yang mengalami busung lapar? Bayangkan, di Papua, dengan menyedot kekayaan alam di sana, Freeport mampu meraih total pendapatan US$ 2,3 miliar pada tahun 2004, lalu meningkat menjadi US$ 4,2 miliar pada 2005. Lebih ironis lagi, 50% penduduk kabupaten Jaya Wijaya yang merupakan daerah operasi Freeport hidup di bawah garis kemiskinan; 35% di antaranya hidup di daerah pembuangan (tailing) yang penuh dengan zat berbahaya. Tidak hanya itu, indeks pembangunan manusia Papua dengan indikator kesehatan dan pendidikan menduduki rangking 27, nomor urut lima terbawah di Indonesia (Walhi, SCTV, 21/11/2006). Lalu menurut data Badan Pusat Statistik 2004, Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia justru tergolong provinsi dengan penduduk termiskin terbesar. Papua tidak sendiri. Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Riau 2004 mencatat, dari 4.543,584 penduduk, 22,19 persennya tergolong miskin. Provinsi kaya ini sekaligus merupakan contoh daerah dengan problem kemiskinan yang lengkap, mulai dari faktor sumberdaya alam dan lingkungan, struktural, serta kultural. Padahal pemerintah pusat saja memperoleh Rp 68 triliun dari hasil minyak dan gas di Riau. Dari dana ini, yang dikembalikan ke Riau Rp 8,9 triliun. (Kompas, 24/4/2005). Bagaimana tidak kaya, Riau selama ini dikenal sebagai salah satu daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia. Sejak tahun 1970-an potensi ini dilirik investor luar negeri yang berani mengucurkan jutaan dolar AS demi menambang kandungan minyak Riau. Daerah kaya lain adalah Kalimantan Timur. Daerah ini bahkan bisa disebut provinsi terkaya di Indonesia. Produksi kayu dari provinsi yang luasnya hampir dua kali Pulau Jawa ini sekitar lima juta meter kubik pertahun. Sebagaimana diberitakan Kompas (13/07/2003) produksi batubaranya sekitar 52 juta meter kubik pertahun. Produksi emasnya pernah mencapai 16,8 ton setahun serta perak lebih dari 14 ton pertahun. Provinsi yang berpenduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini juga menghasilkan gas alam, yang tahun lalu mencapai 1.650 miliar meter kubik, dan produksi minyak bumi 79,7 juta barel. Cadangan sumberdaya alam di provinsi ini masih melimpah. Minyak bumi, misalnya, masih ada 1,3 miliar barel atau 13 persen dari cadangan minyak bumi nasional yang mencapai 9,6 miliar barel. Begitu juga gas alam, masih tersedia 51,3 triliun meter kubik atau 30 persen dari cadangan gas alam nasional yang mencapai 170,3 triliun meter kubik. Bagaimana dengan kondisi rakyatnya? Jauh dari sejahtera. Dari sekitar 2,5 juta penduduk Kaltim, 313.040 orang atau 12,4 persen tergolong penduduk miskin. Kemiskinan itu merata hampir di semua kota dan kabupaten. Bukan cuma itu. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga masih sangat terbatas. Untuk fasilitas kesehatan 2,5 juta warga Kaltim, umpamanya, hanya tersedia 159 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan 24 rumah sakit dengan 2.308 tempat tidur. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, jumlah dokter hanya 27,8 per 100.000 penduduk, jumlah puskesmas 6,4 per 100.000 penduduk, dan tempat tidur rumah sakit 92,8 per 100.000 penduduk. Nanggroe Aceh Darussalam tidak jauh berbeda. Posisinya di urutan keempat termiskin (28,5 persen). Padahal PT Arun LGN dengan operator Exxon Mobile Oil sudah berdiri sejak tahun 1978 dengan cadangan 17,1 triliun kaki kubik gas. Hingga tahun 2002 sudah 70 persen cadangan gas dikuras dari negeri Serambi Makkah itu. Tentu saja ada yang keliru dari pengelolaan kekayaan alam kita, terutama yang dalam Islam masuk dalam sektor kepemilikan umum seperti emas, perak, timah, minyak, gas dan batubara. Kebijakan ekonomi Indonesia yang berbasis kapitalis memberikan sumbangan paling besar bagi kondisi di atas. Selama ini sektor kepemilikan umum lebih banyak diserahkan oleh Pemerintah kepada perusahaan multinasional/asing. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang seharusnya kalau dikelola langsung oleh negara bisa digunakan untuk rakyat, disedot oleh perusahaan asing. Keuntungan pun sebagian besar untuk perusahaan asing. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Kaukus Migas Nasional, Efendi Sirodjuddin, 70 persen industri migas Indonesia dikuasai oleh Amerika Serikat. Bayangkan. dalam kasus Freeport, Indonesia hanya mendapat royalti sekitar 9,4% plus pajak. Padahal total pendapatan Freeport pada tahun 2005 adalah US$ 4,2 miliar dolar dengan kontrak karya sampai 2041 (Kompas, 21/11/2006). Sementara itu, PT Newmont Nusa Tenggara Batu Hijau mendapat 45% dengan cadangan emas 11,9 juta ons. Setoran ke Pemerintah adalah US$ 35,90 juta setiap tahun. Padahal seandainya kalau dikelola langsung oleh negara, keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Dengan seluruh potensi pendapatan di atas, jika semuanya dikelola oleh negara, problem defisit anggaran negara yang selama ini terus terjadi akan terselesaikan dengan tuntas. Pemerintah pun tidak perlu menaikkan BBM yang telah memiskinkan rakyat. Padahal dengan menaikkan BBM Pemerintah hanya dapat Rp 24 triliun dari pengurangan subsidi. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan pendapat Freeport US$ 4,2 miliar dolar (tahun 2005) plus potensi pendapatan Blok Cepu US$ 700 juta–1,2 miliar pertahun. Pemerintah juga tentu tidak perlu terus-menerus menambah utang luar negeri, yang faktanya lebih banyak madaratnya ketimbang manfaatnya. Wahai kaum Muslim: Belum cukupkah bukti-bukti di atas, yang dengan telanjang membuktikan kegagalan sistem Kapitalisme Sekular di negeri ini? Belum cukupkah bukti-bukti di atas yang dengan telanjang membuktikan bahayanya utang terhadap kemerdekaan negeri ini? Padahal, Allah mengingatkan melalui sabda Rasul-Nya: «لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ » Tidak layak seorang Mukmin jatuh terperosok ke dalam lubang yang sama dua kali. (HR al-Bukhari dan Muslim). Seharusnya setiap orang Mukmin bisa mengambil pelajaran dari setiap kerusakan ( fasad) yang terjadi akibat ulah tangan manusia, agar bisa kembali ke jalan Allah (Q.s. ar-Rum [30]: 41). Tidak malah mengulangi hal yang sama, sehingga terperosok ke lubang yang sama berkali-kali. Wahai kaum Muslim: Sesungguhnya utang yang dibuat para penguasa yang silih berganti memimpin negeri terbukti telah membenamkan negeri ini dalam kubang penjajahan. Terbukti utang itu menjadi alat yang ampuh bagi negara-negara Kafir penjajah, terutama AS dan Eropa untuk mendekte setiap kebijakan penguasa di negeri ini. Padahal, Allah dengan tegas mengharamkannya: ]وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاًً [ Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman (Q.s. an-Nisa' [04]: 141) Karena itu, inilah saatnya umat Islam, dan seluruh komponen bangsa di negeri ini menyadari, bahwa hanya dengan Islamlah bangsa dan negeri ini bisa dibebaskan dari segala bentuk penjajahan; ekonomi, politik, sosial, budaya, dll. Karena Islamlah satu-satunya yang mempunyai sistem kehidupan yang lengkap dan sempurna. Karena hanya Islamlah satu-satunya sistem yang diturunkan oleh Allah, Pencipta alam semesta. Masihkah kita hendak berpaling kepada yang lain? Na'udzu bi-Llah. [] Komentar al-Islam: Utang Baru Harusnya Lebih Rendah (Republika, 19/12/2006). Harusnya Indonesia membebaskan diri dari jeratan utang yang terbukti membuat Indonesia makin terpuruk. Labels: al-islam |