|
Friday, 22 December 2006 |
|
|
Buletin Al-Islam Edisi 333
|
|
|
|
MENGAPA POLIGAMI DITENTANG, PORNOGRAFI-PORNOAKSI DAN PERSELINGKUHAN DIBIARKAN?
Pada minggu-minggu terakhir ini, media cetak dan elektronik ramai membahas ragam pendapat, baik yang pro maupun yang kontra, tentang poligami. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta aturan poligami yang selama ini hanya untuk PNS dan anggota TNI/Polri diperluas cakupannya untuk pejabat negara dan pejabat pemerintahan. Karena itu, Presiden meminta Peraturan Pemerintah (PP) No 10/1983 yang telah direvisi menjadi PP No 45/1990 kembali direvisi.
Permintaan revisi tersebut disampaikan Presiden kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, dalam pertemuan di Kantor Presiden, Selasa (5/12). Melalui revisi itu, pejabat negara dan pejabat pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, wali kota, maupun anggota DPR akan tercakup di dalamnya. "Revisi akan dilakukan secepatnya, termasuk sanksi bagi pelanggarnya. Hal-hal yang menyangkut perlindungan perempuan akan ditingkatkan" kata Meutia. (Antara News, 5/12).
Mencermati Isu Poligami
Melihat gencarnya pemberitaan poligami, baik di media dalam negeri maupun luar negeri, ada beberapa hal yang penting untuk dicermati. Pertama: isu poligami ini dapat saja dijadikan sebagai kendaraan untuk kepentingan politik tertentu. Misalnya, bisa saja seseorang atau kelompok tertentu berupaya memperoleh dukungan politik, baik jangka pendek maupun jangka panjang, khususnya dari kalangan perempuan, yaitu dengan cara memposisikan dirinya sebagai pihak yang kontra terhadap poligami. Artinya, ada kecenderungan isu poligami ini dijadikan sebagai komoditi politik praktis.
Kedua: isu poligami nyaris menutupi isu video perselingkuhan salah satu anggota DPR dengan seorang artis dangdut. Bahkan berbagai dialog di televisi lebih banyak mengambil tema kasus poligami dibandingkan dengan perselingkuhan yang melibatkan pejabat tersebut. Persoalan video perselingkuhan itu pun kemudian dianggap selesai setelah anggota DPR tersebut menyatakan mundur dari jabatan di partainya dan dari Gedung Senayan. Akhirnya mulai terbentuk opini publik, bahwa kasus video perselingkuhan itu hanyalah kasus pelanggaran kode etik anggota Dewan. Perselingkuhannya sendiri cenderung dianggap sebagai hal yang biasa. Bahkan pelakunya dipuji seolah sebagai "ksatria" karena dianggap "berani berbuat, berani bertanggung jawab". Ini berbeda dengan poligami yang sampai hari ini masih terus diributkan, seolah-olah poligami merupakan bentuk penindasan yang paling zalim terhadap perempuan.
Ketiga: sikap Pemerintah juga sangat tidak proporsional. Sebagaimana diberitakan oleh Antara News (5/12) bahwa yang mendorong Presiden SBY untuk merevisi PP No.45 1990 adalah karena ratusan SMS yang diterimanya mengenai poligami. Namun, sikap 'peduli' seperti ini tidak diperlihatkan oleh Presiden SBY ketika jutaan umat Muslim dari berbagai elemen mendesak adanya pelarangan pornografi dan pornoaksi melalui RUU APP pada waktu yang lalu. Berdasarkan fakta ini, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pemerintah seolah lebih peduli terhadap "masalah" poligami—seolah-olah dianggap masalah bangsa—ketimbang terhadap maraknya kasus pornogarafi dan pornoaksi yang nyata-nyata merusak moral masyarakat. Bahkan tindak asusila seperti kebebasan seks seolah difasilitasi. Lihatlah, misalnya, kampanye Pemerintah tentang penggunaan kondom, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi bagi remaja agar mampu melakukan hubungan seks yang sehat dan aman terbebas dari HIV/AIDS, suntikan anti hamil, termasuk adanya beberapa ATM kondom.
Keempat: isu poligami dapat pula dijadikan sebagai pintu masuk oleh kelompok liberal untuk 'membina dan mencerahkan' masyarakat agar tumbuh semangat perlawanan terhadap syariah Islam. Mereka berupaya membangkitkan emosi umat, khususnya kalangan perempuan, untuk bersama-sama menolak poligami, sebagai salah satu kebolehan dari syariah Islam. Kelompok liberal ini memang sudah lama berupaya untuk memporak-porandakan syariah Islam dari berbagai pintu, termasuk pintu poligami.
Pandangan Islam tentang Poligami
Allah Swt. berfirman: Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil maka nikahilah seorang saja. (QS an-Nisa' [4]: 3).
Berkenaan dengan ayat ini, ada beberapa hal yang perlu dipahami. Pertama: ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. pada tahun Kedelapan Hijrah, yaitu untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelum ayat ini diturunkan, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim.
Kedua: perlu digarisbawahi bahwa keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Hukum ini wajib dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Patut ditegaskan, dalam fikih Islam, istilah syarat itu digunakan untuk menunjuk pada kondisi atau perbuatan yang menjadi bagian dari perbuatan yang dipersyaratkan. Syarat ini biasanya harus dipenuhi sebelum perbuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan. Suci dari hadats dan najis, misalnya, merupakan syarat sah shalat. Kondisi tersebut harus dipenuhi sebelum shalat dan terus berlangsung sepanjang shalat dikerjakan. Realitas syarat semacam ini ini tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil suami yang ingin berpoligami. Andai adil merupakan syarat sah poligami, lalu bagaimana mungkin syarat itu bisa dipenuhi sebelum akad nikah terjadi, sementara perlakuan adil itu baru bisa dilakukan setelah pernikahan?
Ketiga: pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-takhsîs (diperlakukan secara khusus), yaitu bahwa keadilan yang dimaksud hanya yang berada dalam batas-batas kemampuan manusia. Hal ini berdasarkan keterangan ayat yang lainnya. Allah Swt. berfirman:
Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. (QS an-Nisâ' [4]: 129). Berkaitan dengan firman Allah Swt. yang maknanya, "Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil (QS an-Nisâ' [4]: 129)," Ibn 'Abbas ra. menuturkan bahwa Nabi saw. telah menjelaskan maksud ayat ini, yaitu dalam masalah cinta dan jimak. Maksudnya, dalam hal cinta, kasih dan kesenangan, memang tidak bisa berbuat adil, dalam arti sama. Karena itu, Allah Swt. menjelaskan, bahwa seorang suami mustahil bisa berlaku adil dan bersikap sama di antara istri-istrinya. Keadilan yang dibebankan oleh Allah Swt. atas diri seorang suami terhadap istri-istrinya adalah sebatas kemampuannya, dengan syarat, ia telah mengerahkan segala kemampuannya. Di samping itu, keadilan yang dituntut hanya khusus dalam hal yang bersifat material, yakni di luar masalah cinta dan kasih sayang. Sebab, manusia—bahkan Rasulullah saw. sendiri—tidak akan sanggup berlaku adil dalam perkara cinta dan kasih sayang. Pengertian semacam ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari 'Aisyah r.a. yang bertutur demikian: Rasulullah saw. pernah melakukan pembagian untuk isteri-isterinya, dan beliau pun berlaku adil, kemudian berdoa (yang artinya), "Ya Allah, sesungguhnya keadilanku ini berdasarkan apa yang aku sanggup lakukan. Oleh karena itu, janganlah Engkau cela diriku karena apa yang Engkau kuasai, namun tidak sanggup aku lakukan." (Hr. Ibn Majah)
Atas dasar ini, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain; bukan dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan manusia.
Sementara itu, bahwa praktik poligami sering memicu berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga, hal ini sama sekali tidak bisa dijadikan alasan. Sebab, realitas itu terjadi karena praktik poligami tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Solusinya, tentu bukan melarang poligami, namun meluruskan praktik poligami yang salah itu. Lagipula, kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya sering juga terjadi dalam perkawinan monogami. Sebabnya sama, sering karena rumahtangga tidak dijalankan sesuai dengan tuntunan Islam. Lalu, apakah lantaran itu monogami juga harus dilarang?
Alasan lainnya, bahwa wanita menjadi sakit hati dan tertekan karena suaminya menikah lagi, juga tidak tepat. Pertama: hal itu sering karena yang diperhatikan hanya istri pertama. Bagaimana dengan istri kedua, ketiga, atau keempat yang mungkin merasa terlindungi karena dipoligami, terutama jika sebelumnya mereka berstatus sebagai seorang janda?
Kedua: perasaan tersebut hanya akan muncul akibat anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Itu terjadi karena kampanye masif yang dilancarkan kalangan antipoligami. Sebaliknya, jika istri menganggap poligami sebagai sesuatu yang baik, perasaan sakit hati dan tertekan akibat suaminya berpoligami tidak terjadi. Bahkan jika ia memahami poligami sebagai tindakan mulia, dengan sukarela dia mencari istri bagi suaminya sebagaimana yang terjadi pada sebagian kalangan aktivis Islam.
Penutup
Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu. Imam Asy-Syafii menyatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ali r.a., Umar r.a., dan Abdurrahman bin 'Auf r.a., bahkan tidak ada seorang Sahabat pun yang menentang kebolehan poligami ini hingga batas maksimal empat orang. Pendapat serupa juga dituturkan oleh Abu Syaibah dari mayoritas thabi'in, Atha', Asy-Syafi'i, Hasan, dan sebagainya.
Karena poligami merupakan hukum syariah yang tercantum di dalam al-Quran dan Hadis Nabi saw. secara jelas, maka penentangan/penolakan terhadap kebolehan hukum poligami sebenarnya merupakan penentangan terhadap hukum Allah. Dan inilah yang sebenarnya sedang terjadi. Peradaban Kapitalis dan propaganda Barat sendiri terus berupaya menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang Islam. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami—sebagaimana hukum Islam yang lain seperti jihad—dengan gambaran yang keji dan busuk. Faktor utama yang mendorong mereka menistakan poligami semata-mata untuk menikam Islam dengan embel-embel "membela perempuan". Kalau memang benar membela perempuan, mengapa mereka diam dan bahkan mendukung pornografi dan pornoaksi yang secara faktual merendahkan harkat dan martabat perempuan. Mengapa mereka membiarkan perselingkuhan/perzinaan yang nyata-nyata merugikan perempuan (para istri)? Alasannya jelas, karena pornografi, pornoaksi, dan perzinaan adalah produk andalan liberalisme/sekularisme. Na'ûdzu billâh!
KOMENTAR: RUU Penanaman Modal Dinilai Hanya Untungkan Investor Asing (Eramuslim.com, 12/12/2006). Itu berarti, asing akan semakin leluasa menguasai aset-aset kekayaan negeri ini. Umat wajib menolaknya!Labels: al-islam |
posted by Arief @ 08:50 |
|
|
|
|