KANTOR JURUBICARA HIZBUT TAHRIR INDONESIA بسم الله الرحمن الرحيم وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA Nomor: 105/PU/E/12/06 Jakarta, 28 Desember 2006 M PERBEDAAN PENETAPAN IDUL ADHA 1427 H Ibarat rangkaian cerita, umat Islam di Indonesia khususnya, akan menutup tahun 2006 ini dengan bad atau sad ending, bukan happy-ending. Selain terpaan bencana banjir, lumpur, tanah longsong, gempa yang datang bertubi-tubi hingga penghujung tahun ini, umat Islam juga harus mengalami peristiwa yang sangat menyesakkan sekaligus memalukan. Yakni soal perbedaan dalam penetapan hari Idul Adha 1427 Hijriah. Sebagaimana telah diberitakan, pemerintah melalui sidang itsbat yang diselenggarakan oleh Departemen Agama telah menetapkan bahwa Idul Adha 1427 H tahun ini jatuh pada hari Ahad 31 Desember 2006. Bila Idul Adha adalah 10 Dzulhijjah, maka 9 Dzulhijjah-nya atau Hari Arafah, hari dimana jamaah haji wukuf di Arafah, jatuh sehari sebelumnya, yakni Sabtu 30 Desember 2006. Sementara, Mahkamah Agung Kerajaan Arab Saudi telah mengumumkan bahwa berdasar kesaksian sejumlah saksi adil telah terlihat hilal pada malam tanggal 21 Desember 2006. Dengan kata lain, 1 Dzulhijjah bertepatan dengan 21 Desember 2006. Dengan demikian Hari Arafah (9 Dzulhijjah) jatuh pada Jumat, 29 Desember 2006 dan Idul Adha (10 Dzulhijjah) pada 30 Desember 2006 (lihat di www. al-nadwah.com) Banyak umat yang bingung bertanya-tanya bagaimana mereka harus bersikap. Bila ingin puasa hari Arafah, kapan harus dilakukan: Jumat 29 Desember sesuai dengan hari ketika jamaah haji wukuf di Arafah, atau Sabtu, 30 Desember sesuai dengan ketentuan pemerintah Indonesia? Bila memilih Sabtu, 30 Desember, betulkah hari itu adalah hari Arafah, mengingat jamaah haji di sana justru sudah wukuf sehari sebelumnya? Bila benar Hari Arafah jatuh tanggal 29 Desember, bukankah berpuasa pada Sabtu 30 Desember berarti berpuasa di hari yang justru dilarang untuk berpuasa? Bila memilih puasa Jumat 29 Desember, kapan harus shalat idul Adha-nya? Sabtu 30 Desember atau Ahad 31 Desember? Kenyataan ini menunjukkan betapa umat Islam dewasa ini telah kehilangan jatidiri, bahkan untuk hal-hal prinsip yang menyangkut perihal 'ubudiyah yang mestinya tidak sulit diselesaikan. Perpecahan umat sudah demikian nyata. Setelah runtuhnya khilafah Utsmani pada 1924 memang tidak ada lagi yang memimpin umat Islam se dunia. Umat terpecah belah ke dalam lebih dari 50 negara, yang bergerak berdasar dan demi kepentingan negara masing-masing. Sampai-sampai untuk menetapkan hari-hari ibadah, seperti Hari Arafah, Idul Adha, juga awal dan akhir Ramadhan, kita selalu mengalami masalah. Berdasarkan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan: 1. Bahwa bila umat Islam meyakini, bahwa pilar dan inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di tanah suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Nabi saw.: «اَلْحَجُّ عَرَفَةُ» Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim. Al-Hakim berkomentar, "Hadits ini sahih, sekalipun beliau berdua [Bukhari-Muslim] tidak mengeluarkannya"). Juga sabda beliau: «فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ» Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-Syafii dari 'Aisyah, dalam al-Umm, juz I, hal. 230). Maka mestinya, umat Islam di seluruh dunia yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman. Bukan berjalan sendiri-sendiri seperti sekarang ini. Apalagi Nabi Muhammad juga telah menegaskan hal itu. Dalam hadits yang dituturkan oleh Husain bin al-Harits al-Jadali berkata, bahwa amir Makkah pernah menyampaikan khutbah, kemudian berkata: «عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللهِ e أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا» Rasulullah saw. telah berpesan kepada kami agar kami menunaikan ibadah haji berdasarkan ru'yat (hilal Dzulhijjah). Jika kami tidak bisa menyaksikannya, kemudian ada dua saksi adil (yang menyaksikannya), maka kami harus mengerjakan manasik berdasarkan kesaksian mereka. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni. Ad-Daruquthni berkomentar, "Hadits ini isnadnya bersambung, dan sahih ."). Hadits ini menjelaskan: Pertama, bahwa pelaksanaan ibadah haji harus didasarkan kepada hasil ru'yat hilal 1 Dzulhijjah, sehingga kapan wukuf dan Idul Adhanya bisa ditetapkan. Kedua, pesan Nabi kepada amir Makkah, sebagai penguasa wilayah, tempat di mana perhelatan haji dilaksanakan, untuk melakukan ru'yat; jika tidak berhasil, maka ru'yat orang lain, yang menyatakan kesaksiannya kepada amir Makkah. Berdasarkan ketentuan ru'yat global, yang dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini tidak sulit dilakukan, maka amir Makkah berdasar informasi dari berbagai wilayah Islam dapat menentukan awal Dzulhijjah, Hari Arafah dan Idul Adha setiap tahunnya dengan akurat. Dengan cara seperti itu, kesatuan umat Islam, khususnya dalam ibadah haji dapat diwujudkan, dan kenyataan yang memalukan seperti sekarang ini dapat dihindari. 2. Menyerukan kepada seluruh umat Islam, khususnya di Indonesia agar kembali kepada ketentuan syariah, baik dalam melakukan puasa Arafah maupun Idul Adha 1427 H, dengan merujuk pada ketentuan ru'yat untuk wuquf di Arafah, sebagaimana ketentuan hadits di atas. 3. Menyerukan kepada umat Islam di Indonesia khususnya untuk menarik pelajaran dari peristiwa ini, bahwa demikianlah keadaan umat bila tidak bersatu. Umat akan terus berpecah belah dalam berbagai hal, termasuk dalam perkara ibadah. Bila keadaan ini terus berlangsung, bagaimana mungkin umat Islam akan mampu mewujudkan kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah? Karena itu, perpecahan ini harus dihentikan. Caranya, umat Islam harus bersungguh-sungguh, dengan segala daya dan upaya masing-masing, untuk berjuang bagi tegaknya kembali Khilafah Islam. Karena hanya khalifah saja yang bisa menyatukan umat. Untuk perjuangan ini, kita dituntut untuk rela berkorban, sebagaimana pelajaran dari peristiwa besar yang selalu diingatkan kepada kita, yaitu kesediaan Nabi Ibrahim as. memenuhi perintah Allah mengorbankan putranya, Ismail as. Keduanya, dengan penuh tawakal menunaikan perintah Allah itu, meski untuk itu mereka harus mengorbankan sesuatu yang paling dicintai. Allah berfirman: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kalian demi sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24). Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net Gedung Anakida Lantai 4 Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790 Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254 Email: info@al-islam.or.id Website: www.al-islam.or.id/www.hizbut-tahrir.or.id Labels: Hizbut Tahrir Indonesia |