Khilafah Fighters  

Laa 'Izzata illa bil Islam  
Walaa Islama illa bisy Syariah  
Walaa Syariata illa bid Daulah   Daulah Khilafah Rasyidah  





Locations of visitors to this page

Ada user online
Saturday 30 December 2006

Buletin Al-Islam Edisi 335

MARI BERKURBAN
DEMI MEWUJUDKAN KESATUAN UMAT

Buletin Edisi 335

Hari ini, Jumat (29/12), sesuai dengan keputusan penguasa Makkah, adalah bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah 1427 H. Sembilan Dzulhijjah adalah Hari Arafah. Hari Arafah adalah hari saat jamaah haji melakukan wukuf di Arafah. Demikianlah sebagaimana sabda Nabi saw.:

«يَوْمُ عَرَفَةَ الْيَوْمُ الَّذِيْ يُعرّفُ النَّاسُ فِيْهِ»

Hari Arafah adalah hari saat manusia (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Nabi saw. menyebut wukuf di Arafah sebagai inti dari pelaksanaan ibadah haji:

«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»

Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah. (HR at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibn Majah, dan Ahmad).

Pada Hari Arafah ini jamaah haji diharamkan berpuasa. Sebaliknya, kaum Muslim selain jamaah haji di Tanah Suci disunnahkan untuk menunaikan shaum Arafah.

Karena Jumat ini (29/12) Hari Arafah, berarti esok hari (Sabtu, 30/12) sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Sepuluh Dzulhijjah adalah hari saat jamaah haji sudah meninggalkan Arafah dan tiba di Mina untuk melempar jumrah. Pada saat yang sama, kaum Muslim di seluruh dunia merayakan Idul Adha. Karena Idul Adha terkait dengan rangkaian pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci, maka sudah selayaknya kaum Muslim di seluruh dunia serentak melaksanakan shalat Id secara bersama-sama tanggal 10 Dzulhijjah, yakni saat jamaah haji sudah berada di Mina, yakni Sabtu (30/12) esok hari.

Saat ini jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia sedang berkumpul di Tanah Suci untuk memenuhi panggilan Ilahi, menunaikan ibadah haji. Lautan manusia itu membuat panorama amat menakjubkan. Mereka terdiri dari beraneka ragam suku, bangsa, bahasa, dan warna kulit. Namun, mereka berbaur, berpadu, dan menyatu dalam menjalankan syariah Allah SWT. Mereka serentak menyatakan kesediaannya untuk memenuhi panggilan-Nya:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Aku datang untuk penuhi panggilan-Mu, ya Allah, Aku datang untuk penuhi panggilan-Mu. Aku datang untuk penuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu, Aku datang untuk penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan hanya milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.

Tidak tampak ada perselisihan, percekcokan, dan permusuhan di antara mereka. Segala atribut yang biasanya menjadi biang perpecahan dan percekcokan ditanggalkan. Warna pakaian yang mereka kenakan, aktivitas ibadah yang mereka kerjakan, dan lantunan kalimat yang mereka ucapkan benar-benar menunjukkan bahwa mereka adalah umat yang satu; yang dipersatukan oleh akidah Islam. Sungguh, sebuah pemandangan yang membahagiakan hati orang-orang beriman, yang senantiasa merindukan persatuan dan kesatuan.

Di tempat lain, di seluruh dunia, umat Islam juga tidak mau ketinggalan. Pada Hari Raya Idul Adha, sambil melantunkan takbir, mereka beramai-ramai mendatangi lapangan atau masjid, tempat shalat Id diselenggarakan. Ketika shalat berlangsung, mereka berjajar rapi menghadap kiblat yang sama dan bergerak serentak mengikuti komando seorang imam. Sambil bersimpuh mengagungkan Asma Allah, mereka menyimak uraian ayat-ayat-Nya yang disampaikan khatib. Usai shalat, mereka melakukan penyembelihan dan pembagian hewan kurban. Muslim yang mampu, menyisihkan sebagian hartanya untuk berkurban. Daging hewan kurban itu lalu dibagikan kepada masyarakat luas. Rangkaian peristiwa ini juga mengukuhkan, bahwa umat Islam adalah umat yang satu.

Realitas Persatuan Umat Saat Ini

Sungguh amat disayangkan, persatuan yang diperlihatkan dalam ritual ibadah haji dan Hari Raya Idul Adha ini tampak kontras dengan realitas keseharian umat Islam saat ini. Persatuan umat Islam kini sedang terkoyak. Apalagi setelah Khilafah Islam di Turki diruntuhkan pada tanggal 28 Rajab 1342 H, bertepatan dengan 3 Maret 1924 M, oleh Mustafa Kamal Attaturk dengan dukungan Barat. Ini adalah puncak keberhasilan Barat dalam meracuni umat dengan paham nasionalisme. Paham nasionalismelah yang sesungguhnya telah merobek-robek persatuan dan kesatuan umat Islam hingga hari ini.

Akibatnya, umat Islam yang sebelumnya bersatu-padu dalam satu kepemimpinan Khilafah, kini terpecah-belah menjadi lebih dari lima puluh negara, dengan menonjolkan faktor kebangsaannya masing-masing. Mereka juga dipisahkan oleh batas-batas teritorial yang sebetulnya dibuat oleh kaum imperialis Barat pada masa penjajahan dulu.

Saat ini, umat Islam di negerinya sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka sering tidak peduli dengan nasib saudaranya di negeri-negeri yang lain. Ketika Irak diserbu Amerika, misalnya, tak ada satu pun negeri Muslim yang membantunya. Sebagian negara di Timur Tengah malah menyediakan fasilitas bagi pangkalan militer Amerika. Dari pangkalan itulah, Amerika dan sekutunya leluasa menggempur Irak. Baghdad, yang pernah menjadi ibukota Khilafah Abasiyah itu pun porak-poranda. Seluruh wilayah Irak akhirnya berhasil diduduki Amerika dan sekutunya hingga hari ini. Hingga kini, sudah lebih dari 650 ribu nyawa rakyat Irak menjadi korban kebiadaban tentara AS dan sekutunya

Sebelumnya, nasib serupa juga menimpa Afganistan. Ketika negara itu digempur AS dan sekutunya, umat Islam di seluruh dunia juga tidak bisa berbuat banyak. Penguasa Pakistan malah menyerahkan daerahnya kepada AS untuk memudahkan negara kafir penjajah itu membombardir Afganistan, yang kemudian menewaskan puluhan ribu kaum Muslim. Amerika pun sukses mendudukkan agennya sebagai penguasa Afganistan, yang tentu sangat loyal kepadanya.

Kasus Palestina adalah contoh lain. Rakyat negeri itu puluhan tahun terpaksa harus berjuang sendiri untuk menghadapi kebrutalan dan kebiadaban Israel yang didukung oleh seluruh kekuatan negara penjajah di dunia, termasuk PBB. Pada saat yang sama, negara-negara Muslim lainnya bukan saja tidak membantu, mereka justru berlomba memberikan pengakuan akan keabsahan eksistensi Israel di bumi penuh berkah itu. Mereka bahkan mengadakan hubungan diplomatik dan kerjasama di berbagai bidang dengan negara zionis yang telah menjajah dan menduduki Palestina itu.

Selanjutnya adalah Libanon. Ketika negeri itu dihujani rudal-rudal Israel, negeri-negeri Muslim yang lain tidak tergerak untuk menolongnya. Pemerintah Libanon sendiri bahkan tidak memberikan dukungan apapun terhadap Hizbullah. Dukungan moral pun tidak. Sungguh aneh, memang.

Potret buram persatuan umat Islam kian diperparah dengan pertikaian antar kelompok akibat perbedaan mazhab, partai, dan kepentingan. Akibatnya, mereka mudah diadu-domba oleh musuh-musuhnya. Kasus pertikaian sesama Muslim di Irak, antara Syiah dan Sunni di Shadr City beberapa waktu lalu, yang menewaskan ratusan nyawa kaum Muslim yang tak bersalah, adalah gambaran betapa persatuan umat ini telah terkoyak.

Akar Masalah

Umat Islam saat ini telah diracuni oleh paham-paham yang menjadikan selain akidah Islam sebagai dasar persatuan dan kesatuan mereka, seperti paham kesukuan, nasionalisme (kebangsaan), patriotisme, dan sejenisnya. Paham-paham inilah yang telah menghancurkan persatuan umat Islam. Sebab, ketika kesamaan etnis, suku, bangsa, dan sejenisnya dijadikan dasar persatuan, loyalitas dan pembelaan terhadap bangsa akan mengalahkan loyalitas mereka pada Islam dan kaum Muslim. Padahal Allah SWT berfirman:

] إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ [

Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu adalah bersaudara. (QS al-Hujurat [49]: 10).

Rasulullah saw. juga bersabda:

«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ»

Seorang Muslim adalah saudara Muslim yang lain; ia tidak boleh menzaliminya dan tidak akan membiarkannya (dizalimi) (Muttafaq 'alaih ).

Sejarah telah membuktikan, akidah Islamlah yang mampu mempertautkan hati suku Aus dan Khajraj di Madinah. Padahal sebelumnya kedua suku itu saling bermusuhan berpuluh-puluh tahun. Akidah ini pula yang berhasil mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar kendati mereka berasal dari suku dan tanah air yang berbeda. Ikatan akidah ini pula yang mempersatukan seluruh umat Islam di seluruh dunia selama berabad-abad hingga menjadi umat yang paling kuat dan disegani sepanjang sejarah.

Sayang, umat Islam saat ini telah terpecah menjadi lebih dari lima puluh negara. Sekat-sekat nation state itu menghancurkan umat Islam sebagai satu entitas. Wujud persatuan dan persaudaraan Islam juga tidak bisa diwujudkan secara nyata dalam kehidupan mereka. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Islam. Sebab, Islam telah mewajibkan umatnya bersatu dalam satu payung kekuasaan, yakni Khilafah Islam. Rasulullah saw. bersabda:

«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا »

Apabila dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim).

Dengan dasar hadis di atas, jelaslah bahwa keberadaan umat Islam saat ini, yang terkotak-kotak di beberapa negara, adalah pelanggaran terhadap hukum Islam. Karena itu, umat Islam harus segera menyatukan diri kembali di bawah kepemimpinan seorang khalifah, dalam satu institusi Khilafah Islam.

Selain itu, dengan bersatunya umat Islam di bawah satu payung kekuasaan, yakni Khilafah, selama 13 abad kaum Muslim menjadi umat yang kuat dan disegani musuh-musuhnya. Sebaliknya, setelah Khilafah dibubarkan, umat Islam menjadi lemah dan mudah diperdaya oleh musuh-musuhnya. Ketiadaan Khilafah nyata telah memuluskan negara-negara Kafir Barat untuk menancapkan cengkeraman mereka terhadap kaum Muslim, merampok kekayaan alamnya, menginjak-injak kehormatan Islam dan kaum Muslim, bahkan mengusir dan membantai rakyatnya. Walhasil, benarlah sabda Rasulullah saw.:

«إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ»

Sesungguhnya seorang imam (khalifah) adalah perisai (pelindung). (HR Ahmad dan al-Nasa'i).

Mari Berkurban untuk Menegakkan Khilafah

Menyaksikan semua realitas di atas, kaum Muslim jelas tidak boleh tinggal diam. Apalagi setiap Hari Raya Idul Adha, kita juga selalu diingatkan oleh satu peristiwa besar: pengorbanan hamba Allah, yaitu Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as. Keduanya, dengan kepasrahan dan ketundukan, menunaikan perintah-Nya, meski harus mengurbankan sesuatu yang paling dicintainya. Sikap inilah yang harus kita teladani.

Karena itu, ketika Allah SWT dan Rasul-Nya mewajibkan kita untuk menegak syariah-Nya melalui penegakkan Khilafah Islam, kita pun harus rela mengurbankan apa pun yang kita miliki untuk melaksanakan kewajiban itu. Allah SWT berfirman:

] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ [

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyeru kalian demi sesuatu yang dapat memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfal [8]: 24).

Insya Allah, dengan izin Allah, Khilafah akan segera kembali dalam waktu dekat. Sebab, tegaknya Khilafah telah menjadi janji Allah SWT (Lihat: QS an-Nur [24]: 55). Rasulullah saw. juga telah mengisyaratkan akan hadirnya kembali Khilafah melalui sabdanya:

«ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

Kemudian akan datang lagi Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. (HR Ahmad).

Allâhu akbar, wa lillâhilhamd. []


 

KOMENTAR:

'Pemerintahan Mengarah pada Federalisme' (Republika, 26/12/2006).

Federalisme berpotensi mengarah pada separatisme. Umat Islam harus waspada.

Labels:

posted by Arief @ 14:50  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Arief Rachmansyah
Kota Malang


cmplt prfl