Khilafah Fighters  

Laa 'Izzata illa bil Islam  
Walaa Islama illa bisy Syariah  
Walaa Syariata illa bid Daulah   Daulah Khilafah Rasyidah  





Locations of visitors to this page

Ada user online
Saturday, 6 January 2007

Buletin Al-Islam Edisi 336

REFLEKSI AKHIR TAHUN 2006
Buletin al-Islam Edisi 336

Tahun 2006 baru saja berakhir. Fajar tahun 2007 pun telah terbit. Banyak peristiwa sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya yang telah terjadi di sepanjang tahun ini.

Setidaknya, ada 7 isu terhangat pada tahun 2006, yang perlu diberi catatan, sebagai berikut.

1. Kesejahteraan rakyat.

Selama tahun 2006, kondisi kesejahteraan rakyat secara umum masih memprihatinkan. Jumlah rakyat miskin makin bertambah. Menurut BPS tahun 2005 mencapai 35 juta orang lebih. Tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang. Namun, dengan menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, yakni penghasilan kurang dari 2 US$ perkepala perhari, jumlah orang miskin adalah lebih dari 110 juta orang. Tidak sedikit rakyat negeri ini harus makan nasi aking atau gaplek karena harga beras makin tak terjangkau.

Sementara itu, Pemerintah berencana meningkatkan kembali utang negara. Terakhir, terdengar ada usulan utang yang secara keseluruhan bernilai 35 miliar dolar AS. Jika benar diwujudkan, dipastikan utang itu akan makin menambah beban. Untuk tahun 2006 ini saja, cicilan dan bunga utang sudah lebih dari 30% besaran APBN, lebih besar dari total anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan.

2. Bencana alam.

Sepanjang tahun 2006, negeri ini diwarnai oleh banyak bencana. Yang terbesar adalah gempa yang menggoncang Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006, disusul tsunami kecil yang melanda Pangandaran, dan yang terlama adalah kasus lumpur panas PT Lapindo Brantas yang menenggelamkan beberapa desa di Porong Sidoarjo. Selain itu, ada puluhan bencana lain berupa banjir dan longsor sebagaimana yang saat ini tengah melanda sejumlah kawasan di Sumatera Utara dan Aceh. Di luar kritik atas lambannya Pemerintah dalam merespon setiap bencana ini, serta tidak adanya upaya pembelajaran dari tiap bencana guna mengantisipasi kemungkinan bencana di masa mendatang, bencana tersebut juga menyisakan sebuah ironi. Kita sering diajak berdoa agar terhindar dari segala bencana. Namun, mengapa pada saat yang sama kita tidak juga mau tunduk dan taat kepada Allah? Buktinya, hingga kini masih sangat banyak larangan Allah (zina, riba, judi, pornografi, kezaliman, ketidakadilan, korupsi dan sebagainya) dilanggar; juga masih sangat banyak kewajiban dari-Nya (penerapan syariah, zakat, hukuman, shalat, haji, dan sebagainya) yang tidak dilaksanakan. Pertanyaannya, perlukah ada bencana yang lebih besar lagi untuk menyadarkan kita agar segera tunduk dan taat kepada Allah?

3. Penjualan aset negara.

Di tengah keperluan untuk membiayai pembangunan, aset-aset milik negara justru terus dijual kepada perusahaan-perusahaan asing. Pada tahun 2006, persisnya bulan Maret, Pemerintah memutuskan menunjuk Mobil Cepu Limited (MCL) sebagai lead operator Blok Cepu, salah satu sumber migas terbesar di Tanah Air. Sebagaimana diketahui, MCL merupakan anak perusahaan Amerika Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI). Keberatan dari berbagai kalangan akan keputusan itu, serta kesediaan Pertamina yang telah berulang-ulang dinyatakan, tidak digubris oleh Pemerintah. Pengelolaan tambang emas di bumi Papua masih tetap dikuasai PT Freeport. Pengelolaan gas di blok Natuna alpha delta juga dikuasai Exxon dengan bagi hasil 100:0. Artinya, Pemerintah hanya mendapat 0%. Inilah fakta yang makin menguatkan kenyataan bahwa negeri ini tidaklah memiliki kedaulatan atas pengelolaan sumberdaya alamnya sendiri.

Kenyataan buruk ini hanya mungkin terjadi akibat adanya campur tangan besar dari pemerintah AS dan adanya para komprador di dalam negeri yang bekerja untuk kepentingan asing demi sejumlah imbalan untuk kepentingan pribadi. Tuntutan sejumlah kalangan pada tahun 2006 untuk meninjau ulang kontrak-kontrak pertambangan yang dibuat pada masa Orde Baru dan disinyalir sarat KKN, seperti Freeport dan Newmont, tidak digubris.

4. Korupsi.

Korupsi masih menjadi masalah akut Indonesia. Demikian ganasnya korupsi di Indonesia, dana bantuan bencana dan bantuan untuk orang miskin seperti raskin (beras untuk orang miskin) juga dikorup. Namun, pada tahun 2006 tidak terlihat ada pejabat atau mantan pejabat yang diajukan ke pengadilan. Pemberantasan korupsi masih terlihat seperti 'tebang pilih'. Misalnya, sejauh ini belum terlihat para pengemplang BLBI dan para pejabat yang bertanggungjawab yang telah merugikan negara ratusan triliun diadili.

5. Pornografi-pornoaksi.

Pada tahun 2006 pornografi dan pornoaksi makin marak. Di antaranya ditandai dengan terbitnya majalah Playboy. Pembahasan RUU Antipornografi pornoaksi (APP) yang diharap akan bisa menjadi payung hukum guna menyelesaikan masalah ini, justru makin tidak jelas nasibnya. Di tengah ketidakmenentuan suasana, terkuaklah skandal seks anggota DPR secara sangat tidak terhormat. Sayang, skandal ini—yang diyakini bagaikan fenomena gunung es, karena sesungguhnya sangat banyak anggota parlemen lain yang juga melakukannya—tidak mendapat perhatian secara semestinya. Alih-alih merespon praktik-praktik permesuman itu, Pemerintah malah lebih sigap menanggapi tindakan poligami yang dilakukan Aa Gym, padahal poligami adalah perkara yang dibolehkan oleh syariah Islam. Dengan dalih melindungi kaum perempuan, Pemerintah bahkan berencana akan merevisi UU Perkawinan dan PP yang akan memperketat praktik poligami. Jika semua ini dilakukan Pemerintah—seperti yang dinyatakan oleh Presiden—sebagai moral obligation, bukankah pornografi-pornoaksi serta praktik perzinaan dalam segala bentuknya yang harus ditumpas habis? Mengapa semua itu malah dibiarkan? Mengapa perzinaan malah justru difasilitasi melalui program kondomisasi?

6. Perda syariah.

Di tengah-tengah berbagai krisis yang tengah melanda bangsa ini, upaya sekitar 50 kota/kabupaten di Indonesia untuk menerbitkan perda guna menyelesaikan berbagai persoalan seperti miras, maksiat, busana Muslim, baca al-Quran dan sebagainya mestinya mendapat respon yang baik. Namun, ada sekitar 56 anggota DPR yang mayoritas berasal dari Fraksi PDS yang menuntut agar perda-perda yang dikatakan berbau syariah itu segera dicabut karena meresahkan, bertentangan dengan konstitusi dan memecah-belah NKRI.

Secara prosedural, perda-perda itu lahir melalui proses politik yang absah. Jika asumsi demokrasi bahwa wakil rakyat adalah representasi suara rakyat, maka perda-perda itu lahir sebagai aspirasi masyarakat, dan dihasilkan melalui proses demokratis. Secara empiris, perda-perda itu juga diperlukan dan faktanya telah memberikan hasil yang baik. Perda Zakat di Kab Bulukumba, misalnya, telah meningkatkan PAD di sana dari Rp 9 miliar menjadi Rp 90 miliar. Bahkan perda larangan miras telah menurunkan kriminalitas sampai 80%.

Mendagri M. Ma'ruf, dalam dialog dengan para ulama dalam forum Rakernas MUI 24 Juli 2006 lalu secara eksplisit justru meminta semua pihak untuk tidak lagi mempersoalkan keberadaan perda-perda tersebut. Bahkan Mendagri menghimbau agar MUI "mendampingi pemda dalam penyusunan perda-perda". Perda-perda itu juga tidak menyerukan disintegrasi.

Perda-perda itu dibuat justru untuk mewujudkan ketertiban masyarakat sebagaimana dinyatakan oleh Mendagri M. Ma'ruf di atas. Lebih dari itu, dari penerapan perda yang sebagiannya sudah dilaksanakan lebih dari lima tahun itu, tidak pernah terdengar keresahan yang dimaksud. Ternyata yang terjadi justru sebaliknya, perda-perda itu sampai sekarang terus didukung masyarakat, termasuk oleh warga non-Muslim.

7. Intervensi asing.

Sepanjang tahun 2006 ini kita merasakan derasnya arus intervensi asing, khususnya yang dilakukan oleh negara-negara adidaya seperti AS dan Inggris. Di bidang politik diantaranya bertujuan untuk menjaga agar Indonesia tetap dikuasai oleh kekuatan politik yang sealiran dengan kepentingan AS. Dalam jumpa pers di bulan Maret 2006, Menlu AS Condoleezza Rice menyatakan demokrasi di Indonesia sudah matang dalam menangani kemungkinan kehadiran kelompok garis keras. Rice menyatakan sepakat untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang militer dengan Indonesia "termasuk IMET" (14/03/06). Rice juga meminta agar Indonesia menjadi partisipan dalam PSI (Pro-liferation Security Initiative). Menhan AS Donald Rumsfeld (6 Juni 2006), sama-sama berupaya untuk meyakinkan (baca: menekan) Pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam PSI.

Pada rapat paripurna DPR, 7 Maret 2006, Pemerintah dan DPR meratifikasi dua konvensi internasional soal pemberantasan terorisme dan menyetujuinya menjadi undang-undang, yaitu: Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris Tahun 1997 (International Convention of the Supression of Terrorist Bombings 1997) dan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International Convention of the Suppression of the Financing of Terrorism 1999). Indonesia semakin terikat secara internasional dalam program perang global melawan terorisme. Ini menyiratkan Pemerintah dan DPR secara sadar dan sengaja mengikatkan diri dengan perang melawan terorisme atau dengan AS khususnya.

Yang paling menghebohkan pada tahun 2006 tidak lain adalah kedatangan Presiden Bush pada 20 November lalu. Protes dan gelombang penolakan datang dari berbagai kalangan. Namun, semua itu tidak digubris. Dengan penerimaan Bush ini, sesungguhnya telah diproklamirkan bahwa Pemerintah Indonesia adalah sekutu AS. Bush tanpa sungkan menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai sahabat.

Rekomendasi

Berkenaan dengan kenyataan di atas, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1.       Menilik berbagai persoalan yang timbul di sepanjang tahun 2006 dapat disimpulkan ada tiga faktor utama di belakangnya, yakni alam, sistem dan manusia termasuk kepemimpinan. Gempa bumi, tsunami dan gunung meletus dan bentuk bencana lainnya adalah sunnatullah yang terjadi atas qudrah dan irâdah Allah. Menghadapi bencana semacam ini, kita hanya bisa bersabar sambil berdoa agar tidak terjadi lagi pada masa datang.

2.       Kemiskinan, korupsi, pornografi-pornoaksi, intervensi asing dan berbagai bentuk kezaliman sepenuhnya terjadi karena pilihan manusia dalam menata berbagai aspek kehidupan. Pemimpin yang tidak amanah dan sistem yang buruk, yakni sistem Kapitalisme-sekular ditambah lemahnya moralitas individu, telah terbukti menjadi pangkal munculnya persoalan di atas. Oleh karena itu, jika kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan di atas, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Zat Yang Mahabaik. Itulah syariah Allah. Sementara itu, pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.

3.       Di sinilah esensi seruan "Selamatkan Indonesia dengan Syariah". Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh orang amanah saja Indonesia benar-benar bisa menjadi baik. Insya Allah!

'Ala kulli hâl, marilah kita segera menyambut seruan Allah SWT: 

] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ[   

[Wahai orang-orang yang beriman, sambutlah seruan Allah dan Rasul-Nya jika dia menyeru kalian menuju sesuatu yang dapat memberikan kehidupan bagi kalian. (QS al-Anfal [8]: 24). []


Komentar al-Islam:

Zikir Nasional Sambut Tahun Baru (Republika, 2/1/2007).

Zikrullah (mengingat Allah) yang sebenarnya adalah dengan mengikatkan diri dengan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan.

 

Labels:

posted by Arief @ 06:44  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Arief Rachmansyah
Kota Malang


cmplt prfl