Khilafah Fighters  

Laa 'Izzata illa bil Islam  
Walaa Islama illa bisy Syariah  
Walaa Syariata illa bid Daulah   Daulah Khilafah Rasyidah  





Locations of visitors to this page

Ada user online
Monday, 2 April 2007

Penolakan Terhadap RUU PM

بسم الله الرحمن الرحيم

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

KANTOR JURUBICARA 
HIZBUT TAHRIR INDONESIA
 

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA TENTANG
  Penolakan Terhadap RUU PM

Nomor: 111/PU/E/03/07, Jakarta, 28 Maret 2007 M

Rancangan Undang Undang Penanaman Modal (RUU PM) rencananya akan segera disahkan DPR RI pada tanggal 29 Maret ini. RUU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970). Dalam RUU ini, investasi sebagai penopang pembangunan dimaknai sebagai proses ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi semata. Pandangan ini secara mendasar telah mengabaikan hal terpenting dalam ekonomi yakni aspek keadilan distribusi sehingga menciptakan jurang kesenjangan yang makin melebar. Inilah awal petaka bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas miskin karena tidak mampu mengakses sumber daya alam, kesehatan, pendidikan, serta layanan publik lainnya.Dalam perspektif syariah, RUU PM juga mengandung sejumlah persoalan mendasar yakni:

  1. Penyamaan investor dalam dan luar negeri di semua bidang usaha. 
     
    Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 2 disebutkan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia. Pasal ini menunjukkan tidak adanya pembedaan antara PMDN dan PMA. Dalam pasal 1 disebutkan penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. Pengertian ini kembali dikukuhkan dalam Bab II Asas dan Tujuan pasal 3 butir d): Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Penegasan serupa dinyatakan dalam Bab V Perlakuan terhadap Penanaman Modal pasal 6 ayat 1: Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan ketentuan ini, penanam modal asing mendapatkan pintu amat lebar untuk melakukan investasi di segala bidang di seluruh wilayah RI. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam, tugas utama negara adalah memberikan ri'ayah (pengaturan dan pelayanan) terhadap rakyatnya. Rasulullah saw menyatakan: 
     
    Maka al-imam al-adzam yang (berkuasa) atas manusia adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya (HR Muslim). 
    Tugas penguasa atau pemerintah dalam memenuhi kebutuhan warganya jelas sekali tidak akan bisa diujudkan bila RUU PM ini diterapkan. Dalam RUU PM ini pemerintah harus memperlakukan secara sama rakyatnya sendiri dan investor asing. Tidak boleh ada yang diistimewakan. 
     
    Menurut syariat Islam, perlakuan terhadap pelaku usaha dalam negeri (rakyat) memang harus dibedakan dengan pelaku usaha asing. Dalam usyur misalnya, negara hanya boleh memungutnya secara penuh dari perdagangan asing (kafir harbi). Abdullah bin Umar pernah berkata, "Umar memungut ½ usyur dari perdagangan nabath, minyak (zaitun), dan gandum, supaya lebih banyak dibawa ke Madinah agar rakyat terdorong membawa nabath, minyak zaitun, dan gandum ke madinah. Ia juga memungut usyur dari pedagangan kapas (HR Abu Ubaid). 
     
    Atsar ini menunjukkan bahwa Umar bin al-Khaththab memungut usyur dari perdagangan yang melewati perbatasan negara, yakni ¼ usyur dari perdagangan umat Islam dan ½ usyur dari pedagangan kafir dzimmi serta usyur dari penduduk kafir harbi. Jika dalam perdagangan yang melewati batas negara saja tidak boleh disamakan, terlebih menanam modal yang usahanya berjalan di wilayah negeri muslim. Tentu lebih tidak boleh disamakan.

  2. Tidak adanya pembedaan bidang usaha 

    RUU PM memberikan ruang amat lebar bagi penanaman modal baik dalam negeri maupun asing di semua bidang. Sekalipun dinyatakan ada bidang yang tertutup, namun jumlahnya amat sedikit. Dalam Bab VII Bidang Usaha Pasal 12 ayat 1 ditegaskan: Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: (a) produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan (b) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. 
     
    Penetapan sebuah bidang usaha dikelompokkan tertutup didasarkan pada beberapa kriteria, yakni: kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya (pasal 12 ayat 2). Sementara penatapan bidang usaha dikatagorikan terbuka didasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah (pasal 12 ayat 3). 
      
    Semua kriteria yang dijadikan sebagai dasar penetapan bidang usaha dinyatakan terbuka atau tertutup itu tidaklah berdasarkan ketentuan syariat. Akibatnya klasifikasi usaha terbuka dan tertutup itupun menjadi tidak jelas, dan berpotensi bertentangan dengan syariat. Seharusnya, kriteria penetapannya didasarkan kepada ketentuan syariat. Syariat Islam menetapkan, bahwa bidang usaha yang boleh diselenggarakan adalah terhadap barang dan jasa yang halal saja. Adapun investasi usaha di bidang barang dan jasa yang haram harus dinyatakan tertutup sama sekali dan masuk dalam kelompok negatif investasi. 
      
    Selain itu, juga harus memperhatikan aspek kepemilikan, yakni apakah pada sektor kepemilikan individu, kepemilikan umum atau kepemilikan negara. Penanaman modal oleh swasta hanya dibolehkan pada sektor usaha yang dapat dimiliki oleh individu. Sementara dalam sektor kepemilikan umum sama sekali tidak boleh dimasuki penanaman modal swasta, baik dalam negeri maupun asing. Yang termasuk dalam cakupan kepemilikan umum adalah: 1) Sarana-sarana umum yang amat diperlukan oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput, api, dll. 2) Harta-harta yang keadaan aslinya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, seperti jalan raya, sungai, danau, laut, masjid, lapangan, dll. 3) Barang-barang tambang yang jumlahnya melimpah atau tak terbatas. Semua sektor itu tidak boleh dimiliki, dikuasai, atau diserahkan pengelolaannya kepada individu, kelompok individu baik dari dalam negeri apalagi dari luar negeri. 
     
    Klasifikasi semua bidang usaha dalam RUU PM ini sebagai bidang usaha terbuka jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sementara dalam kepemilikan negara, pemerintah diperbolehkan memberikan sebagian kepemilikan negara kepada individu, seperti tanah, bangunan, dan sebagainya.   
     
  3. Penolakan terhadap nasionalisasi 
      
    RUU PM ini melarangan tindakan nasionalisasi. Kalaupun harus dilakukan, pemerintahan harus membelinya sesuai dengan harga pasar. Jika tidak ada kesepakatan mengenai harga kompensasinya, harus diselesaikan melalui jalur arbitrase. Dalam bab V Perlakuan terhadap Penanaman Modal pasal 7 disebutkan: (1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. (2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. (3) Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui jalur arbitrase. Islam memang tidak mengenal konsep nasionalisasi. Akan tetapi syariat Islam mewajibkan negara menerapkan konsep kepemilikan secara benar. Benda-benda yang menurut syariat menjadi milik individu tidak boleh dinasionalisasi oleh negara. Sebaliknya, yang termasuk milik umum tidak boleh dikuasi individu. Jika telah terlanjur, negara harus menariknya, dan mengembalikannya sebagai milik umum, tanpa harus memberikan kompensasi kecuali terhadap peralatan atau instalasi yang telah terlanjur dipasang dengan harga yang sepadan. Rasulullah saw bersabda: 
      
      مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفْقَتَه
    ُ

Siapa saja yang menanam di tanah suatu kaum tanpa izin, maka dia tidak berhak atas tanaman itu sama sekali, namun dia berhak atas biaya yang dikeluarkannya (HR Ibn Majah, Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmidhi)

Dengan adanya ketentuan larangan nasionalisasi dalam RUU PM, sementara dalam RUU itu pihak swasta justru diberi kesempatan luas untuk menguasai sektor-sektor yang menurut syariat merupakan milik umum, itu berarti melanggengkan swasta untuk terus-menerus merampas kepemilikan umum.

  1. Penyelesaian Sengketa 
      
    Persoalan krusial lainnya adalah metode penyelesaian sengketa. Solusi akhir sengketa antara pemerintah dengan PMDN adalah pengadilan. Jika dengan PMA adalah arbitrase internasional. Dalam Bab XV Penyelesaian Sengketa Pasal 32 disebutkan: (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. (4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Menurut Islam, penyelesaian sengketa wajib dilakukan dalam mahkamah yang memutuskan dengan hukum syariat Islam. Diharamkan memutuskan perkara dengan hukum-hukum yang tidak berasal syariatNya. Dengan demikian ketentuan menyelesaikan sengketa dengan membawanya kepada pengadilan yang memutuskan dengan hukum jahiliah adalah haram.  Terlebih kepada arbitrase internasional. Lembaga tersebut bukan hanya menerapkan hukum kufur, namun juga dikuasai oleh negara-negara kafir imperialis. Meminta arbitrase internasional untuk memutuskan hukum jelas bisa melempangkan jalan bagi negara-negara itu menguasai negeri ini. Allah Swt berfirman: 
     
    Dan sekali-kali Allah Swt tidak memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin  

Oleh karena itu, berkenaan dengan rencana pengesahan RUU PM tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

  1. Menolak pengesahan RUU PM karena secara mendasar bertentangan dengan syariat Islam dan secara faktual akan makin menjerumuskan Indonesia kepada penjajahan ekonomi oleh kapitalisme global. Sepanjang 2000 - 2005, stok modal asing meningkat hingga 3,5 kali lipat. Pemilik PMA tersebut sebagian besar adalah Singapura, Inggris, Jepang, Australia, Belanda, Korea selatan, Taiwan, Kanada, Amerika Serikat, Jerman, yang tersebar dalam 975 proyek. Tidak heran jika negara-negara tersebut banyak terkait dengan campur tangan seluruh kebijakan ekonomi, sosial , budaya dan hankam di negeri ini. Campur tangan mereka tentu tak lepas dari upaya mengamankan kepentingannya di Indonesia.

Menurut BKPM modal asing semakin dominan dibanding seluruh investasi dalam negeri. Investasi sektor minyak dan gas bumi misalnya, sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional (asing). Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan, hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang mengelola lapangan migas di Indonesia.

Dominannya modal asing berpengaruh terhadap arah privatisasi sektor publik, penguasaan perekonomian domestik dan pemasaran produk barang dan jasa yang dihasilkan negara maju. Peran lembaga-lembaga kreditor internasional lewat berbagai skema pinjaman luar negeri memainkan peran penting mendorong agenda tersebut, melalui keluarnya berbagai produk regulasi seperti UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Ketenagalistrikan hingga privatisasi BUMN. Kondisi ini menyuratkan terjadinya pergeseran tanggung jawab negara digantikan perannya oleh korporasi.

  1. Pendapat yang menyatakan bahwa RUU PM ini diperlukan untuk memacu investasi asing karena Indonesia selama ini tidak diminati investasi adalah kabar menyesatkan. Sebenarnya di dalam negeri pun sangat banyak tersedia dana (menurut gubernur BI ada sekitar Rp 210 triliun dana masyarakat yang idle di BI) yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk investasi. Tapi faktanya dana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya. Berarti bukan tidak ada investasi, tapi sistem lah yang tidak memberikan suasana kondusif bagi berkembangnya investasi.

Pembuatan RUU PM yang dianggap pemerintah sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan kemandirian ekonomi adalah tidak benar karena pemerintah tidak mencoba sungguh-sungguh menjawab permasalahan bertambahnya pengangguran. Pemerintah lebih berorientasi pada pertumbuhan dengan "asumsi" setiap satu persen pertumbuhan akan menyerap 300.000 tenaga kerja, namun "asumsi" pemerintah tersebut tidak mampu menyelesaikan bertambahnya pengangguran. Pada faktanya FDI hanya memanfaatkan rendahnya upah buruh dan banyaknya insentif yang diberikan pemerintah antara lain pembebasan pajak dan kemudahan dalam investasi dalam pengelolaan sumber daya alam

  1. Menyerukan kepada anggota DPR, khususnya yang muslim, untuk menyadari peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang muslim yang semestinya senantiasa terikat kepada syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan, khususnya dalam kegiatan penyusunan perundang-undangan. Penyusunan RUU yang tidak mengacu kepada syariat Islam bukan saja terlarang tapi juga secara pasti akan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT kelak.

Kegagalan berbagai instrumen perundangan, termasuk yang mengatur tentang permodalan asing dan undang-undang sektoral, khususnya sektor pengelolaan sumberdaya alam (UU Migas, UU Kelistrikan dan sebagainya) dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti keberadaan jutaan rakyat yang berada di garis kemiskinan akibat ketidakadilan distribusi, jumlah konflik sumberdaya, dan/atau belum menikmati jasa pelayanan umum. Di Indonesia, setidaknya ada 110 juta jiwa penduduk yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang dari Rp 18.000,00 per hari.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796
Email: ismaily@ telkom.net
Gedung Anakida Lantai 4
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Email : info@hizbut-tahrir.or.id 
Website : http://www.hizbut-tahrir.or.id

posted by Arief @ 09:16  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
Arief Rachmansyah
Kota Malang


cmplt prfl